Jumat, 17 September 2010

ANDAI AKU JALAN KAKI, MASIHKAH ENGKAU SELALU ADA UNTUKKU?




“aku “kan selalu ada untukmu, Sayang, aku nggak bisa hidup tanpamu...”
Gubrakkk....!!! aku terjungkal. Sucikah bisikan itu? jangan-jangan karena kau tajir, mapan, keren, pintar, atau populer? Apakah engkau masih kan selalu ada untukku andai aku hanya jalan kaki, dengan tubuh tanpa Bvlgari, dan dompet isi seribu?
Andai aku jalan kaki, di bawah terik matahari, bermandi keringat, menahan lapar, bertubuh dekil nan buluk, dengan dompet kempes yang tak bisa untuk beli sebuah air kemasan gelas, akankah kau, kau, dan kau yang kini selalu tersenyum manis dan mendengarkanku, tetap mau menyapaku, tersenyum padaku, menyentuh lenganku, merangkulku, memelukku, menciumku, dan menganggapku manusia?

Inilah suara hati yang paling jujur yang bisa diungkapkan hingga kini. Suar hati yang sebenarnya tiap orang punya namun berusaha untuk dibungkam dengan alasa-alasan yang sengaja dibuat rasional. Buku ini begitu jujur. Cara bertuturnyan pun dengan bahasa sehari-hari yang tidak berat. Bahkan dibeberapa kalimat diselingin dengan ungkapan-ungkapan gaul tapu tidak terkesan alay.

Buku ini berlabel BEST SELLER, dan aku rasa memang pantas begitu. Disamping isinya yang memang sangat kontekstual, dari segi pakeging pun benar-benar diperhatikan. Entah sadar atau tidak, buku ini berhasil dibuat dalam bentuk yang agronomis, sehingga kapanpun dan dimanapun kita bisa menyelami setiap paragraf demi paragraf yang tertampil. Tidak usah ribet bawa ransel apa lagi takut dibilang sok kutu buku ketika kamu berada dalam ruang tunggu, dalam pesawat atau bahkan dalam toilet sekalipun. Belum lagi harngaya yang hanya Rp.26.000. (Keterlaluan, kalau harga segini kamu bilang mahal untuk sebuah buku)

Okelah. Silahkan cek ke toko buku terdekat di tempatmu. Aku jamin, kamu ga bakalan menyesal kecuali kalau memang kamu masih hoby di dongengin sampai se-dewasa ini.

Kendari, 5 september 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar